PT Perkebunan Pelalu Raya (PT PPR) adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. PT PPR tercatat mengantongi Izin Usaha Perkebunan yang dikeluarkan oleh Bupati Agam dengan No 417 tanggal 17 Juni 2008 dengan luas lahan 550 ha. Lahan tersebut merupakan eks HGU PT Bangun Agam Permai yang dibeli PT PPR pada tahun 2006 berdasarkan akta jual beli tanggal 10 maret 2006 no 67/PCB/2006 yang dibuat oleh Sri Husniati Najmi, S.H PPAT di Agam.
Merujuk kepada dokumen yang dipublikasikan oleh Wilmar : PT Wilmar Nabati Indonesia, Padang “ Traceability Summary-Supplies July 2020-June 2021” PT PPR termasuk sebagai salah satu daftar perusahaan pemasok sawit untuk Wilmar1. Sebagaimana diketahui, per 31 Desember 2020 wilmar tercatat sebagai perusahaan sawit yang memiliki perkebunan dengan luas tanam mencapai 232.053 ha di dunia. Dimana, 65% dari luas tersebut berada di Indonesia. Wilmar sendiri miliki parner di Belanda dengan Archer Daniels Midland Company dan Join Venture Name dengan Olenex Holdings B.V. Pada website ADM URL https://www.adm.com/news/news-releases/adm-to-acquire-shares-in-wilmar- international-ltd ditemukan informasi bahwa Archer Daniels Midland Company tercatat memiliki saham di Wilmar. Sementara Olenex Holdings dalam profilenya memuat keterangan bergerak dibidang perdagangan dan pemasaran minyak sawit, salahsatunya di belanda.
Meskipun demikian, keberadaan bisnis sawit PT PPR dan Wilmar terindikasi memiliki korelasi yang kuat baik secara langsung atau tidak atas hilangnya hak atas tanah ulayat masyarakat adat di Nagari Salareh Aia Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Lahan perkebunan yang HGUnya dibeli oleh PT PPR dari PT Bangun Agam Permai berasal dari tanah ulayat masyarakat adat Nagari Salareh Aia, namun baik perusahaan ataupun pemerintah tidak pernah mengakui kepemilikan tanah ulayat masyarakat adat Nagari Salareh Aia. Sebaliknya, pemerintah mengklaim bahwa tanah yang diberikan kepada perusahaan adalah tanah negara yang berasal dari eks Erpacht Verponding No 330 meetbrif 31 januari 1931 atas nama georg erwin oscar krebs yang haknya berakhir pada 24 September 1960.
Pada tahun 2019, Tim Peneliti POCAJI berkesempatan mewancara tokoh adat Drs H Syahrial Dt Garang M.Pd, dengan jabatan Penghulu Pucuk Rajo Adat di Padang Koto Gadang Nagari Salareh Aia, beliau mengatakan : pada tahun 1988 Bupati Agam saat itu mengundang Ninik Mamak ke Bukittingi, disana bupati mengintimidasi dan memaksa ninik mamak untuk menandatangani surat pernyataan mengakui tanah yang diberikan kepada perusahaan adalah tanah eks erfacht verponding. Ninik Mamak yang takut akhirnya terpaksa menandatangani, satu-satunya yang tidak menandatangani adalah Dt Garang, yang kemudian tandatanganya di palsukan. Sejak saat itu, DT Garang bersama cucu kemanakannya memilih memperjuangkan keadilan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas hak atas tanah ulayat dari pemerintah dan perusahaan. Masyarakat meyakini, klaim pemerintah yang menyatakan HGU terbit diatas tanah eks erfact verponding hanya akal-akalan pemerintah tanpa didukung dokumen dan jelas hal tersebut menguntungkan pihak perusahaan. Sebab, dengan dengan demikian perusahaan terbebas dari kewajiban hukumnya terhadap masyarakat atas pemanfataan tanah ulayat untuk usaha perkebunan kelapa sawit.
Keyakinan masyarakat tersebut akhirnya terbukti, melalui ketidakmampuan Badan Pertanahan Nasional memenuhi perintah putusan pengadilan yang memerintahkan agar BPN memperlihatkan dokumen erfacht verponding afdelling No 330 meetbrief 31 januari 1931. Kepala Kantor BPN Agam menyatakan bahwa dokumen erfacht verponding afdelling No 330 meetbrief 31 januari 1931 aslinya tidak ditemukan. Sementara disisi lain, photo copi dokumen erfacht verponding afdelling No 330 meetbrief 31 januari 1931 justeru memuat ejaan yang disempurnakan, padahal EYD baru berlaku pada tahun 1971. Sehingga, argumentasi pemerintah yang mengatakan HGU diterbitkan diatas tanah eks erfacht verponding afdelling No 330 meetbrief 31 januari 1931 tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pada sisi lain, situasi tersebut dimanfaatkan perusahaan. Tuntutan masyarakat adat direspon dengan argumentasi perusahaan sudah mengantongi izin dan HGU dari pemerintah. dan mencoba membuat tawaran kepada masyarakat, apabila bersedia mengakui bahwa HGU yang dimiliki oleh perusahaan berasal dari tanah bekas erfacht verponding afdelling No. 330 meetbrief 31 januari 1931, maka tokoh adat/masyarakat akan diberikan honor/gaji setiap bulannya. Sebahagian besar masyarakat telah berhasil dipengaruhi oleh perusahaan dan mengakui bahwa tanah yang menjadi HGU perusahaan adalah tanah erfacht verponding afdelling No. 330 meetbrif 31 Januari 1931, sebagai imbalan mereka menerima imbalan dalam bentuk honor 200.000.00 setiap bulannya. Salah satu tokoh adat yang tidak menerima tawaran perusahaan adalah Drs H Syahrial Dt Garang M.Pd. Meskipun pernah ditawarkan rumah dan honor per bulan, tokoh adat ini tetap memilih memperjuangkan hak atas tanah ulayatnya. Terakhir, pada tanggal 23 mei 2019, tokoh adat ini mengirimkan surat pembatalan HGU ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional. Hingga saat ini, masyarakat belum berhasil mendapatkan kembali tanah ulayat mereka.