Back to Story List

Profil Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Barat: PT LARAS INTERNUSA (PT LIN)

PT Laras Internusa beroperasi di lahan perkebunan perusahaan yang berasal dari tanah ulayat dan memicu berbagai konflik di masyarakat.
Published : December 25, 2023 | Updated: February 16, 2024

PT Laras Internusa adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat dengan perusahaan induknya adalah TSH Resources Berhard. PT Laras Internusa merupakan perusahaan pemasok sawit untuk Wilmar. PT Laras Internusa pada tahun 2005 membeli saham PT Tri Sangga Guna. Sejak saat itu, perusahaan ini menjadi pemilik usaha perkebunan yang telah dijalankan sebelumnya oleh PT Tri Sangga Guna di Pasaman Barat. Perusahaan ini mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) : pertama, IUP nomor 188.45/256/Bup- Pasbar/2007 tanggal 09 mei 2007 dengan luas lahan 4.000 ha. Kedua, IUP nomor 188.45/597/Bup-Pasbar/2008 tanggal 30 Desember 2008 dengan luas lahan 3.000 ha. Ketiga, IUP nomor 188.45/445/Bup-Pasbar/2010 tanggal 24 Agustus 2010 dengan luas lahan 173 ha. Keempat, IUP nomor 188.45/446/Bup-Pasbar/2010 tanggal 24 agustus 2010 dengan luas lahan 136 ha. Sementara HGU perusahaan tercatat dengan HGU no 1 tahun 1995 seluas 7.000 ha tanggal 21 maret 1995, HGU no 19 seluas 173 ha tanggal 16 februari 2009 dan HGU no 20 seluas 136 ha tanggal 16 februari 2010. Lahan perkebunan perusahaan berasal dari tanah ulayat. PT Laras Internusa kemudian terlibat konflik dengan beberapa kelompok masyarakat sebagai berikut :

Konflik dengan Kaum Datuk Manang Padang Jirat

Pada tahun 1989, kaum datuk manang padang jirat kenagarian kinali menyerahkan tanah ulayat seluas lebih kurang 900 ha untuk perkebunan kelapa sawit PT Tri Sangga Guna dengan ketentuan masyarakat akan dibangunkan kebun plasma. Karena perusahaan hanya membangun kebun inti, maka pada tahun 1997 kaum datuk manang melakukan demontrasi ke kantor perusahaan guna menuntut plasma. Barulah pada 22 juni 1998, terdapat kesepakatan antara kaum datuk manang padang jirat dengan perusahaan, bahwa kebun plasma akan diberikan oleh pihak perusahaan 48 bulan sejak perjanjian disepakati. Namun, pihak PT Tri Sangga Guna tidak menepati perjanjian tersebut.

Karena pada tahun 2005, perkebunan kelapa sawit PT Tri Sangga Guna sudah beralih ke PT Laras Internusa, maka kaum datuk manang jirat menuntut realisasi plasma kepada PT Laras Internusa. Namun PT Laras Internusa juga tidak memenuhi tuntutan masyarakat. Akhinya, masyaralat terus memperjuangkan

haknya dengan melakukan aksi demonstrasi beberapa kali, menuntut PT Laras Internusa merealisasikan kebun plasma seluas 124 ha (62 kapling) dan membayar kerugian materil Rp. 15 Milyar Rupiah sebagai hasil plasma 124 ha yang tidak pernah dibayarkan kepada masyarakat sejak tahun 2002-2012. Pada 13 agustus 2012, PT Laras Internusa berjanji akan merealisasikan tuntutan kaum datuk manang padang jirat dalam waktu satu bulan, yaitu pada tanggal 13 september 2012. Namun, kesepakatan ini ternyata tidak dipenuhi pihak perusahaan. Setelah difsilitasi oleh tim fasilitator konflik pertanahan pasaman barat pada tanggal 18 september 2012, PT Laras Internusa diberi kesempatan untuk memenuhi tuntutan masyarakat kaum datuk manang padang jirat sampai tanggal 27 september 2012, namun pihak perusahaan kembali tidak memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Selanjutya, pada 14 desember 2012, dengan fasilitasi Bupati Pasaman Barat kaum Datuk Manang Padang Jirat dengan PT Laras Inter Nusa membuat perjanjian yang berisi keputusan : masyarakat padang jirat melepaskan tuntutannya kepada perusahaan dan perusahaan akan merealisasikan kebun plasma seluas 124 ha kepada masyarakat, tetapi 3 minggu setelah perjanjian tersebut keduabelah pihak kembali membuat perjanjian baru pada tanggal 08 Januari 2013 yang memuat kesepakatan berupa : keduabelah pihak sepakat membatalkan perjanjian perdamaian 14 Desember 2012, Amat Dt Manti Manang dan kaumnya melepaskan tuntutan atas tanah 900 ha yang terletak dilahan inti perusahaan dan menyatakan tidak akan menuntut dikemudian hari dan bertanggungjawab atas keamanan di atas tanah HGU perusahaan dari gangguan cucu kemanakan kaum Dt Manti Manang, atas pelepasan tuntutan dari Amat Dt Manti Manang dan Kaumnya maka mereka akan mendapat Kebun Plasma yang terletak di lahan koperasi Sawit Mandiangin Langgam Kinali Sejahtera, PT LIN bersedia memberikan uang kompensasi sejumlah 500juta rupiah dan uang talih kasih 7,5 juta/bulan.

Perjanjian 08 Januari 2013 tidak sepenuhnya dipenuhi oleh perusahaan, yaitu tidak memberikan kebun plasma kepada Amat Dt Manti Manang dan Kaumnya , sehingga Amat Datuk Manti Manang menggugat PT Laras Inter Nusa ke Pengadilan Pasaman Barat. Gugatan didaftarkan pada 29 Agustus 2017. Perkara ini diputus pada hari Rabu 14 Februari 2018 dengan nomor putusan : 18/Pdt.G/2017/PN Psb. Hanya bahagian kecil dari tuntutan yang dikabulkan, yaitu menyatakan sah dan berkekuatan hukum perjanjian 08 januari 2013 dan menghukum PT Laras Inter Nusa membayar kerugian materil sebesar Rp. 135.000.000,-. Tidak puas, Amat Datuk Manti Manang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Padang. Permohonan Banding diajukan pada Selas, 27 Februari 2018 dan diputus pada 26 Juni 2018 dengan nomor Putusan 64/PDT/2018/PT PDG. Putusan tingkat banding ini semakin tidak berpihak kepada Datuk Manti Manang, hakim justru menyatakan Gugatan Amat Datuk Manti Manang tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard). Sehingga, Kaum Datuk Manang Padang Jirat belum

mendapatkan keadilan, mereka hanya menerima uang kontribusi 4juta/bulan sejak 2004-2012, uang kompensasi 500 juta dan uang talih kasih 7,5 juta/bulan sejak 2013-2017, tetapi jumlah tersebut tidak setimpal dengan hasil janji kebun plasma seluas 124 ha atas kesepakatan penyerahan tanah ulayat mereka seluas 900 ha untuk kebun sawit perusahaan.

Konflik dengan Kelompok Nelayan dan Perkebunan Mandiangin (KNPM)

Pada tahun 2007, ninik mamak mandiangin Nan Kodo Rajo dan Sudewo menyerahkan lahan seluas 1.000 ha kepada perusahaan, dengan kesepakatan pembangunan kebun kelapa sawit 50% inti (500 ha) dan 50% Plasma (500 ha) dalam waktu satu tahun, apabila tidak terbangun dalam waktu setahun maka tanah kembali ke masyarakat. Namun, kesepakatan ini diingkari oleh perusahaan. Sebab itu, masyarakat mandiangin yang tergabung kepada Kelompok Nelayan dan Perkebunan Mandiangin (KNPM) menuntut perusahaan agar mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat.

Selain itu, pada 30 Desember 2002, Ninik Mamak juga telah menyerahkan tanah ulayat kepada perusahaan, dengan kesepakatan masyarakat akan dibangunkan plasma 3.000 ha atau 20% dari luas HGU perusahaan, namun janji plasma tersebut tidak direalisasikan. Sebab itu, KNPM juga menuntut perusahaan merealisasikan kebun plasma seluas 3.000 ha atau 20% dari luas HGU perusahaan. Masyarakat adat mandiangin, melalui KNPM menuntut dengan berbagai cara, diantaranya melakukan unjuk rasa ke kantor perusahaan, diantaranya pada tanggal 18 Oktober 2012, 22 April 2013 dan 20 Agustus 2013. Namun, perusahaan belum memenuhi tuntutan masyarakat.

Konflik dengan Masyarakat Anam Koto

Pada 8 September 2006, Ninik Mamak Anam Koto dengan perusahaan membangun kesepakatan terkait dengan dana kompensasi tanah ulayat untuk kebun sawit perusahaan, saat itu yang menandatangani perjanjian dari perusahaan adalah Ir. Sudiarto. Perusahaan menyanggupi membayar dana kompensasi tanah ulayat 29.250.000 / bulan, dana kompensasi ninik mamak beserta pengurus dan pembangunan rumah adat Induk Basa Anam Koto Rp. 9.250.000/bulan dan dana kompensasi cucu kemanakan Rp. 20juta/bulan. Kesepakatan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan oleh perusahaan, sehingga masyarakat anam koto melalui Aliansi Masyarakat Adat Anam Koto menuntut hak mereka dengan berbagai cara, diantaranya dengan menyurati pimpinan perusahaan dengan tembusan ke Bupati Pasaman Barat, Ketua DPRD, Kapolres, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Dandim 0305/koramil dll. Selain itu, masyarakat juga melakukan unjuk rasa ke perusahaan (2 Juni 2014), mediasi di Kantor Camat Kinali 9 juni 2014, namun

perusahaan dianggap tidak beriktikad baik, karena mengutus orang yang tidak bisa mengambi keputusan, sehingga tidak ada penyelesaian yang dapat disepakati.
Pada 26 juni 2014, Aliansi Masyarakat Adat Anam Koto memblokade jalan menuju kebun perusahaan dan menuntut agar perusahaan segera mencairkan dana kompensasi. Adapun dana kompensasi tanah ulayat yang dituntut adalah selama 97 bulan (2006-2014) dengan total Rp. 2.837.250.000,-, selain itu, Ninik Mamak dan masyarakat Anam Koto juga menuntut kenaikkan dana kompensasi ninik mamak beserta pengurus dan pembangunan rumah adat induk basa anam koto dari Rp. 9.250.000/bulan menjadi Rp. 60 juta/bulan, uang kompensasi untuk cucu kemenakan dari Rp 20 juta/bulan menjadi Rp 50 juta/bulan. Namun, tuntutan masyarakat tersebut belum dipenuhi oleh perusahaan.